Saturday, November 27, 2010

Membuat Furniture Komposit Serat Pisang

Pohon pisang, seperti kelapa, adalah pohon kehidupan. Hampir semua bagiannya bermanfaat. Al Quran menyebut pisang sebagai pohon surgawi. Injil menyebutnya sebagai pohon pengetahuan.

Terentang di khatulistiwa, kepulauan Indonesia tak hanya kaya akan deretan pohon kelapa di sepanjang 95.000 km garis pantainya. Ini juga negeri pisang. Indonesia salah satu negeri penghasil pisang terbanyak di dunia, setelah Brazil dan India. Meski jarang ada perkebunan pisang skala besar di sini, kita bisa melihat banyak pohon pisang tersebar hampir di setiap lahan pertanian dan pekarangan rumah pedesaan negeri kita.

Tapi, seperti kelapa, pisang baru sebagian saja dimanfaatkan masyarakat Indonesia. Sebagian besar orang hanya memanfaatkan buahnya saja. Daun kelapa sebagai pembungkus makanan sudah kian tergusur oleh plastik. Bagian-bagian lain pohon pisang, seperti nasib kelapa, dibuang begitu saja sebagai limbah.

Di beberapa daerah, pelepah dan gedebog pisang dikeringkan untuk diolah menjadi barang-barang kerajinan: sandal, tas dan anyaman lain. Tapi, masih ada banyak manfaat lain yang belum banyak dieksplorasi. Salah satunya pemanfaatan serat gedebog pisang.

Serat pisang (atau banana fiber) memiliki banyak kegunaan.

Seratnya yang halus dipakai untuk bahan benang atau kertas. Benang kemudian dipintal menjadi kain. Sejak Abad ke-13 kain-kain tradisional kimono Jepang dibuat dengan bahan ini. Dan dalam beberapa tahun terakhir di Australia dan Afrika, orang memanfaatkan serat pisang untuk bahan celana dalam dan pembalut perempuan. Kertas kualitas tinggi bisa dihasilkan dari serat pisang. Mata uang yen (Jepang) dibuat dari serat ini.

Serat pisang yang lebih kasar juga punya banyak kegunaan: dipintal menjadi tali-tali besar yang kuat untuk menghela kapal-kapal di laut; atau dianyam dalam bentuk jala besar untuk menutupi tanah (geofiber) yang bisa mencegah erosi tanah dan berguna dalam pembuatan taman atau lanskap; atau dicampur dengan resin/plastik untuk dijadikan komposit. Pembuatan serat pisang untuk bahan komposit masih jarang dieksplorasi di Indonesia.

Secara iseng bersama istri, saya mencoba membuat komposit serat pisang ini di Wonosobo, Jawa Tengah. Seperti banyak wilayah pedesaan lain di Jawa, Wonosobo kaya akan tanaman pisang, yang limbahnya dibuang begitu saja. Jika pembuatan komposit ini bisa diperluas, kita akan bisa membantu mengurangi laju kerusakan lingkungan, dan dengan biaya yang murah, menggunakan bahan yang selama ini kita anggap limbah tak bernilai.

Hasilnya seperti ini:

Apa itu komposit? Meski istilahnya kedengaran sulit dan modern, komposit sebenarnya bukan temuan baru. Nenek-moyang kita telah biasa membuat dinding rumah dengan bahan campuran tanah liat dan jerami padi. Ituah komposit awal yang kita kenal. Tanah liat bertindak sebagai matriks (pengikat) sementara jerami sebagai serat (pengisi dan penguat).


Komposit modern mengikuti prinsip dasar itu: campuran antara matriks dan serat. Salah satu komposit yang kita kenal dalam era modern, dan dipakai untuk banyak hal, adalah fiber-glass: yakni campuran antara resin/plastik dengan serat kaca. Fiber-glass dipakai untuk membuat kapal, bahan bangunan dan banyak peralatan rumah tangga.

Komposit yang kami buat berbahan campuran serat pisang dan resin/plastik yang saya beli dari toko besi kecil. Serat pisang bisa diperoleh dari gedebog basah dengan berbagai cara. Cara paling sederhana adalah cara biologis: dibusukkan dalam air selama satu-dua pekan untuk menghilangkan klorofil dan menyisakan serat. Cara kedua adalah cara kimiawi: merebus gedebog pisang dengan soda api (kaustik). Cara ketiga adalah cara fisik: mengepres gedebog pisang seperti kita membuat sari tebu; klorofil yang lunak dan air akan keluar, menyisakan serat pisangnya.

Sebenarnya kami ingin resin yang dipakai adalah resin alami untuk menghasilkan komposit yang alami seluruhnya: baik matriks maupun seratnya. Salah satu serat alami adalah getah damar (amber). Saya sempat berkeliling Wonosobo tapi hanya menemukan sedikit sekali getah ini. Pohon damar pun sudah sangat jarang di Jawa. Kami memutuskan memakai resin sintetis (plastik). Jadi komposit yang kami buat tidak sepenuhnya alamiah, tapi hanya semi-natural.

Komposit ini bisa dibentuk sesuai cetakannya. Produk akhir praktis tak terbatas, tergantung dari bentuk dan desainnya. Praktis untuk apa saja: furniture, dinding, tiang, kichenware atau peralatan rumah tangga lain.

Dengan komposit semi-alami ini kami bertekad beberapa bulan mendatang membuat furniture dan perlengkapan interior untuk rumah kecil yang sedang kami bangun di lereng Gunung Sindoro.

Meski masih menggunakan produk plastik sintetik, penggunaan serat pisang sebagai pengisi sudah dengan sendirinya mengurangi jumlah dan volume plastik yang ada di rumah kami. Dan dengan itu kami berharap bisa membantu mengurangi laju kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan plastik.

Temuan komposit modern yang berbahan plastik (sebagai matriks) pada umumnya dipandang sebagai berkah. Banyak hal bisa dengan mudah dibuat dalam skala massal: furniture, peralatan dapur, kitchenware, peratalan elektronik dari televisi hingga telpon genggam, kemasan makanan dan minuman, keranjang, dashboard mobil, pipa-pipa air, bahkan kain dan karpet (dari nylon).

Konstruksi ringan, seperti tiang, jendela dan kios rokok pinggir jalan pun, kini dibuat dari komposit plastik. Produk-produk plastik ini menggusur produk-produk tradisional seperti tas dan keranjang dari anyaman (bambu), bungkus makanan (daun pisang), gayung (tempurung kelapa).

Kehidupan kita sepertinya tak bisa berkelit dari komposit modern, dan karenanya dari plastik. Tapi, ini juga membawa bencana. Berapa banyak komposit plastik yang kita pakai dan yang kita buang ke tempat sampah? Berapa ongkos lingkungan yang harus dibayar untuk semua kemudahan itu?

Komposit plastik bersifat petroleum-based, merupakan hasil samping tak langsung dari penyulingan minyak bumi. Untuk membuatnya kita memerlukan energi besar, yang antara lain bersumber pada minyak juga. Panas tinggi juga dibutuhkan untuk membuat komposit, ikut menyumbang apa yang kita kenal sebagai pemanasan global dengan konsekuensi lingkungan tak terkira, dari punahnya burung dan ikan sampi hancurnya terumbu karang--salah satu sumber keindahan Indonesia, Zamrud Khatulistiwa kita yang tercinta.

Bencana lain ditimbulkan oleh sampah komposit plastik itu sendiri: lihatlah sungai-sungai, muara, teluk dan danau. Plastik yang tak terurai itu ada di mana-mana. Poliusi benda padat ini menggusur ruang hidup banyak floara dan fauna, hingga ke tengah hutan dan tengah laut.

Menemukan kembali bahan-bahan alamiah sebagai komposit karenanya bisa membantu mengatasi masalah-masalah lingkungan tadi.***